14 Juni 2019, Bandung Mawardi
Aku sering membaca berita mengenai Lastri Fardani Sukarton di majalah Tempo. Sekian berita berkaitan sastra. Nama “penting” bagi Tempo untuk mengumumkan dan membesarkan kaum perempuan di kesusastraan. Aku agak bingung mengenai posisi Lastri Fardani Sukarton. Aku memiliki daftar agak panjang tapi nama itu telat ditulis dalam daftar susulan. Sekian nama teringat sejak dulu: Saadah Alim, Selasih, Rukiah, Isma Sawitri, Marga T, Mira W, Ike Soepomo, La Rose, Isma Sawitri, Dorothea RH, Oka Rusmini, Ayu Utami, dan lain-lain. Sekian nama memberi puisi, cerita pendek, novel, dan drama. Aku menikmati gubahan sastra mereka dan membuat esai-esai. Di Bilik Literasi, aku dana teman-teman malah pernah mengadakan Rapat Umum Marga T. Nah, Lastri Fardani Sukarton? Nama itu perlahan aku kenali setelah membeli novel berjudul Letup-Letup Cinta terbitan Grafiti. Penerbit itu memiliki kaitan erat dengan majalah Tempo. Oh, lumrahlah ada pemberitaan di Tempo.
Aku mengenali sebagai novelis. Eh, ia diberitakan sering di perpuisian dalam majalah Tempo. Aku belum memiliki buku puisi oleh Lastri Fardani Sukarton. Selain di Tempo, aku membaca biografi ringkasa dan pergaulan kesusastraan Lastri Fardani Sukarton di majalah Amanah, 8-21 September 1989. Majalah itu sering memasang foto perempuan berjilbab di sampul. Majalah berselera Islam tapi “memanjakan” sastra di puluhan halaman setiap terbit.
Tulisan di Amanah dijuduli biografis, hasil wawancara wartawan dengan si penggubah puisi: “Hari-Hari Simbok, Aku, dan Langgar di Desaku.” Oh, ia berasal dari desa. Lastri menjalani masa bocah di Bantul, Jogjakarta. Ia hidup dalam asuhan pakdhe dan budhe. Pada budhe, ia memberi panggilan Simbok. Orangtua kandung Lastri berada di kota. Lastri sengaja diikutkan ke pakdhe dan budhe. Mereka tak memiliki anak. Lastri dianggap anak. Sejak dini, Lastri membantu Simbok mengurusi pekerjaan di rumah dan membantu berjualan di pasar. Hidup di edisi bergerak alias kerja keras, bukan males-malesan di masa Indonesia masih berkecamuk revolusi, setelah proklamasi 1945.
Pada saat dewasa, Lastri rajin sinau dan bergaul dengan para pengarang moncer di Jogjakarta: Rendra, Kirdjomuljo, Mohamad Diponegoro, Motinggo Boesye, dan lain-lain. Ia memasuki jalan seni, tak keder atau minder. Tekun menggubah sastra dan bermain sandiwara belum memastikan Lastri di keputusan menjadi penulis. Ia bekerja sebagai pramugari. Masa dewasa itu sempurna dengan pernikahan, 1964. Ia beruntung telah berani menempuhi jalan sastra dan dikenali sebagai istri Jaksa Agung.
Aku memastikan Lastri itu cantik, mahir bercakap, berani, dan pintar. Penemuanku berupa novel semakin menguatkan hasrat kesusastraan Lastri terbentuk lama, sejak bocah. Ia sudah suka coret-coret di kertas bekas pembungkus. Ia menulis puisi dan cerita. Dulu, ia perempuan idaman. Aku tak hidup di masa Lastri mencatatkan nama di seni. Ah, aku mungkin menggoda Lastri jika hidup sezaman. Godaan dengan esai-esai bertaburan bualan, bukan puisi-puisi picisan.
Kini, aku tak mengandaikan Lastri saat masih bocah atau remaja. Aku memilih mengingat simbok mengacu puisi gubahan Lastri berjudul “Simbok”. Puisi bekti bagi budhe dipanggil Simbok. Puisi sederhana tapi aku terharu: aku mengamatinya dan/ berdoa/ nanti kalau aku sudah/ jadi sarjana/ aku belikan simbok/ kain dan kebaya. Puisi mengingat asuhan Simbok di masa revolusi. Lastri bahagia saat bocah, membawa rasa dan pengalaman sampai dewasa. Ia pun jadi sarjana dan bekerja. Ia memenuhi hasrat jadi pengarang. Puisi memenuhi janji. Lastri ingin membelikan “kain dan kebaya”.
Aku memiliki simbok, ibu kandung. Simbok bernama Jinah. Orang-orang memanggil Mbok Jinah. Kini, ia terbaring di ranjang. Hari-hari menjelang Ramadhan, Mbok Jinah sakit. Raga sudah lemah, sulit bergerak dengan normal. Kemampuan Mbok Jinah menggerakkan tangan dan kaki perlahan terbatas. Anak-anak berkumpul memberi perawatan dan mengadakan tindakan-tindakan demi Mbok Jinah. Pada hari-hari bersedih merawat Mbok Jinah aku memiliki nuansa puisi Lastri meski berbeda ketokohan dan masa lalu.
Dulu, aku males berdoa untuk jadi sarjana. Sejak SMA, aku sudah wegah sekolah. Aku berulang minta pada Mbok Jinah mendingan meninggalkan sekolah untuk sinau ke pesantren. Mbok Jinah tak membolehkan. Aku anak ragil, diharapkan selalu di rumah untuk membantu dan mengurusi Mbok Jinah. Sekolah tetap siksaan. Aku suma bertahan setahun di SMA Negeri 2 Solo. Setahun itu kebodohan, keburukan, dan kenakalan. Berpindahlah sekolah! Aku mulai mengangankan jadi bajingan tengik, belum ada angan mulia jadi sarjana. Di rumah, aku justru memusuhi teman-teman mengaku kuliah atau sarjana-sarjana ora mutu. Situasi itu membuatku semakin males kuliah mendapat gelar sarjana.
Nah, aku juga tak seirama dengan Lastri dalam urusan ingin membelikan “kain dan kebaya”. Mbok Jinah memang perempuan lawas, tak pernah mengenakan rok atau celana. Penampilan lawas memerlukan jarik dan kebaya. Lulus dari SMA Negeri 2 Sukoharjo, aku klontang-klantung berlagak menulis sastra. Kuliah di STAIN Solo belum genap satu semester sudah berantakan menghasilkan mutung. Aku memilih hidup tanpa kuliah. Eh, Mbok Jinah, perempuan tua tak bisa membaca-menulis itu memintaku kuliah agar jadi guru. Waduh! Jawabanku cuma menangis. Aku pun mengondisikan diri ikhlas kuliah di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, UMS. Aku menjanjikan bakal sregep kuliah dan lulus. Aku masih enggan menuruti keinginan Mbok Jinah. Aku malu jadi guru.
Dulu, Lastri itu teladan. Aku ada di pihak tanpa gairah dan janji. Lelaki memalukan! Aku melarang diri ikut wisuda sebagai upacara jadi wisuda. Aku melihat ijazah tanpa bangga. Duh, di situ ada namaku dan di belakang ada gelar kesarjanaan! Mbok Jinah tak pernah melihatku mengenakan baju hitam atau melihat foto anak ragil dijuluki sarjana. Eh, lulus kuliah aku menggagalkan keinginan Mbok Jinah. Aku memilih terus berjualan buku dan kaset bekas. Rezeki tak pernah aku gunakan membelikan Mbok Jinah “kain dan kebaya.” Sebait dari Lastri membuatku malu dan marah, setelah melihat Mbok Jinah semakin menua dan berbaring lemah di ranjang.
Di bait kedua, Lastri menulis: akankah Tuhan/ mendengar doaku/ tak beruang tak berpangkat/ tapi bisa merampungkan sekolah. Masa lalu Lastri dalam urusan sekolah, bekerja, dan sastra tampak beres. Aku sering amburadul di pendidikan dan menolak di pekerjaan lumrah. Kini, aku tetap saja belum bekerja sesuai pengertian Mbok Jinah. Sekian tahun lalu, aku pernah menuliskan Mbok Jinah dalam esai, belum di puisi atau cerita pendek. Aku malu jika bertemu Lastri. Sebiji puisi untuk Mbok Jinah mungkin bermakna tanpa perlu terbacakan saat tanganku memijat raga Mbok Jinah, pagi atau sore. Begitu.