Simbok: Puisi dan Biografi

14 Juni 2019, Bandung Mawardi

Aku sering membaca berita mengenai Lastri Fardani Sukarton di majalah Tempo. Sekian berita berkaitan sastra. Nama “penting” bagi Tempo untuk mengumumkan dan membesarkan kaum perempuan di kesusastraan. Aku agak bingung mengenai posisi Lastri Fardani Sukarton. Aku memiliki daftar agak panjang tapi nama itu telat ditulis dalam daftar susulan. Sekian nama teringat sejak dulu: Saadah Alim, Selasih, Rukiah, Isma Sawitri, Marga T, Mira W, Ike Soepomo, La Rose, Isma Sawitri, Dorothea RH, Oka Rusmini, Ayu Utami, dan lain-lain. Sekian nama memberi puisi, cerita pendek, novel, dan drama. Aku menikmati gubahan sastra mereka dan membuat esai-esai. Di Bilik Literasi, aku dana teman-teman malah pernah mengadakan Rapat Umum Marga T. Nah, Lastri Fardani Sukarton? Nama itu perlahan aku kenali setelah membeli novel berjudul Letup-Letup Cinta terbitan Grafiti. Penerbit itu memiliki kaitan erat dengan majalah Tempo. Oh, lumrahlah ada pemberitaan di Tempo.

Aku mengenali sebagai novelis. Eh, ia diberitakan sering di perpuisian dalam majalah Tempo. Aku belum memiliki buku puisi oleh Lastri Fardani Sukarton. Selain di Tempo, aku membaca biografi ringkasa dan pergaulan kesusastraan Lastri Fardani Sukarton di majalah Amanah, 8-21 September 1989. Majalah itu sering memasang foto perempuan berjilbab di sampul. Majalah berselera Islam tapi “memanjakan” sastra di puluhan halaman setiap terbit.

Tulisan di Amanah dijuduli biografis, hasil wawancara wartawan dengan si penggubah puisi: “Hari-Hari Simbok, Aku, dan Langgar di Desaku.” Oh, ia berasal dari desa. Lastri menjalani masa bocah di Bantul, Jogjakarta. Ia hidup dalam asuhan pakdhe dan budhe. Pada budhe, ia memberi panggilan Simbok. Orangtua kandung Lastri berada di kota. Lastri sengaja diikutkan ke pakdhe dan budhe. Mereka tak memiliki anak. Lastri dianggap anak. Sejak dini, Lastri membantu Simbok mengurusi pekerjaan di rumah dan membantu berjualan di pasar. Hidup di edisi bergerak alias kerja keras, bukan males-malesan di masa Indonesia masih  berkecamuk revolusi, setelah proklamasi 1945.

Pada saat dewasa, Lastri rajin sinau dan bergaul dengan para pengarang moncer di Jogjakarta: Rendra, Kirdjomuljo, Mohamad Diponegoro, Motinggo Boesye, dan lain-lain. Ia memasuki jalan seni, tak keder atau minder. Tekun menggubah sastra dan bermain sandiwara belum memastikan Lastri di keputusan menjadi penulis. Ia bekerja sebagai pramugari. Masa dewasa itu sempurna dengan pernikahan, 1964. Ia beruntung telah berani menempuhi jalan sastra dan dikenali sebagai istri Jaksa Agung.

Aku memastikan Lastri itu cantik, mahir bercakap, berani, dan pintar. Penemuanku berupa novel semakin menguatkan hasrat kesusastraan Lastri terbentuk lama, sejak bocah. Ia sudah suka coret-coret di kertas bekas pembungkus. Ia menulis puisi dan cerita. Dulu, ia perempuan idaman. Aku tak hidup di masa Lastri mencatatkan nama di seni. Ah, aku mungkin menggoda Lastri jika hidup sezaman. Godaan dengan esai-esai bertaburan bualan, bukan puisi-puisi picisan.

Kini, aku tak mengandaikan Lastri saat masih bocah atau remaja. Aku memilih mengingat simbok mengacu puisi gubahan Lastri berjudul “Simbok”. Puisi bekti bagi budhe dipanggil Simbok. Puisi sederhana tapi aku terharu: aku mengamatinya dan/ berdoa/ nanti kalau aku sudah/ jadi sarjana/ aku belikan simbok/ kain dan kebaya. Puisi mengingat asuhan Simbok di masa revolusi. Lastri bahagia saat bocah, membawa rasa dan pengalaman sampai dewasa. Ia pun jadi sarjana dan bekerja. Ia memenuhi hasrat jadi pengarang. Puisi memenuhi janji. Lastri ingin membelikan “kain dan kebaya”.

Aku memiliki simbok, ibu kandung. Simbok bernama Jinah. Orang-orang memanggil Mbok Jinah. Kini, ia terbaring di ranjang. Hari-hari menjelang Ramadhan, Mbok Jinah sakit. Raga sudah lemah, sulit bergerak dengan normal. Kemampuan Mbok Jinah menggerakkan tangan dan kaki perlahan terbatas. Anak-anak berkumpul memberi perawatan dan mengadakan tindakan-tindakan demi Mbok Jinah. Pada hari-hari bersedih merawat Mbok Jinah aku memiliki nuansa puisi Lastri meski berbeda ketokohan dan masa lalu.

Dulu, aku males berdoa untuk jadi sarjana. Sejak SMA, aku sudah wegah sekolah. Aku berulang minta pada Mbok Jinah mendingan meninggalkan sekolah untuk sinau ke pesantren. Mbok Jinah tak membolehkan. Aku anak ragil, diharapkan selalu di rumah untuk membantu dan mengurusi Mbok Jinah. Sekolah tetap siksaan. Aku suma bertahan setahun di SMA Negeri 2 Solo. Setahun itu kebodohan, keburukan, dan kenakalan. Berpindahlah sekolah! Aku mulai mengangankan jadi bajingan tengik, belum ada angan mulia jadi sarjana. Di rumah, aku justru memusuhi teman-teman mengaku kuliah atau sarjana-sarjana ora mutu. Situasi itu membuatku semakin males kuliah mendapat gelar sarjana.

Nah, aku juga tak seirama dengan Lastri dalam urusan ingin membelikan “kain dan kebaya”. Mbok Jinah memang perempuan lawas, tak pernah mengenakan rok atau celana. Penampilan lawas memerlukan jarik dan kebaya. Lulus dari SMA Negeri 2 Sukoharjo, aku klontang-klantung berlagak menulis sastra. Kuliah di STAIN Solo belum genap satu semester sudah berantakan menghasilkan mutung. Aku memilih hidup tanpa kuliah. Eh, Mbok Jinah, perempuan tua tak bisa membaca-menulis itu memintaku kuliah agar jadi guru. Waduh! Jawabanku cuma menangis. Aku pun mengondisikan diri ikhlas kuliah di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, UMS. Aku menjanjikan bakal sregep kuliah dan lulus. Aku masih enggan menuruti keinginan Mbok Jinah. Aku malu jadi guru.

Dulu, Lastri itu teladan. Aku ada di pihak tanpa gairah dan janji. Lelaki memalukan! Aku melarang diri ikut wisuda sebagai upacara jadi wisuda. Aku melihat ijazah tanpa bangga. Duh, di situ ada namaku dan di belakang ada gelar kesarjanaan! Mbok Jinah tak pernah melihatku mengenakan baju hitam atau melihat foto anak ragil dijuluki sarjana. Eh, lulus kuliah aku menggagalkan keinginan Mbok Jinah. Aku memilih terus berjualan buku dan kaset bekas. Rezeki tak pernah aku gunakan membelikan Mbok Jinah “kain dan kebaya.” Sebait dari Lastri membuatku malu dan marah, setelah melihat Mbok Jinah semakin menua dan berbaring lemah di ranjang.

Di bait kedua, Lastri menulis: akankah Tuhan/ mendengar doaku/ tak beruang tak berpangkat/ tapi bisa merampungkan sekolah. Masa lalu Lastri dalam urusan sekolah, bekerja, dan sastra tampak beres. Aku sering amburadul di pendidikan dan menolak di pekerjaan lumrah. Kini, aku tetap saja belum bekerja sesuai pengertian Mbok Jinah. Sekian tahun lalu, aku pernah menuliskan Mbok Jinah dalam esai, belum di puisi atau cerita pendek. Aku malu jika bertemu Lastri. Sebiji puisi untuk Mbok Jinah mungkin bermakna tanpa perlu terbacakan saat tanganku memijat raga Mbok Jinah, pagi atau sore. Begitu.

Berlagak Menulis Sajak

13 Juni 2019, Bandung Mawardi

Nama mengingatkan Tempo. Ia memang ada di sejarah majalah Tempo. Dulu, ia sering menulis kolom-kolom bertema agama. Ia bernama Syu’bah Asa. Mulutku agak sulit mengucap kata pertama. Aku memiliki ingatan ke buku berjudul Wars Within: Pergulatan Tempo Sejak Zaman Orde Baru (2007) garapan Janet Steele. Buku cenderung menokohkan Goenawan Mohamad meski tetap harus menjelaskan tokoh-tokoh lain di Tempo dan para pejabat Orde Baru.

Janet Steele menulis: “Syu’bah Asa adalah lelaki berperawakan pendek dan sedikit gemuk dengan wajah bulan, rambut ikal berwarna agak kemerahan dan berkacamata. Meskipun hubungan profesional Syu’bah Asa dengan Goenawan Mohamad telah terjalin sejak 1970 dan sejak era majalah Ekspres, ia sebenarnya sudah mengenal Goenawan Mohamad sejak 1964, ketika ia membaca salah satu artikel penyair muda itu di majalah Sastra.” Perkenalan tulisan dan pembaca. Perkenalan berlanjut ke penerbitan majalah tanpa lupa mereka tetap rajin menggubah puisi. Goenawan Mohamad di kemonceran, Syu’bah Asa jarang terkenang. Pada suatu masa, mereka berpisah dan menggerakkan dua majalah berbeda.

Aku cuma mendapat sedikit bacaan mengenai Syu’bah Asa. Nama penting tapi di buku-buku mengenai sastra dan pers jarang jadi “tokoh utama”. Ia pun ada di film garapan Arifin C Noer. Aku berharap bukan pelupa bagi Syu’bah Asa. Kata kedua di nama itu “asa”. Nah, ia berhak memiliki kemauan dibaca dan diperhatikan pembaca di masa berbeda. Aku tak pernah bertemu dengan Syu’bah Asa. “Pertemuan” cuma di buku dan majalah: sejenak. Aku mungkin menebus sejenak itu dengan menaruh nama Syu’bah asa di ensiklopedia sastra dengan penjelasan (agak) panjang.

Di majalah Horison edisi Maret 1973, aku membaca 15 puisi gubahan Syu’bah Asa. Puisi di 3 halaman penuh. Puisi tertua bertahun 1958. Puisi terbaru digubah pada 1973. Ia telah lama berpuisi meski tak lekas mendapat pembaca dan ulasan-ulasan di arus kritik sastra. Aku memilih puisi berjudul “Tentang Menulis Sajak” untuk mengerti para penggubah puisi masa lalu dan sekian lagak di kesusastraan Indonesia.

Pada masa 1960-an dan 1970-an, nama sering muncul adalah Taufiq Ismail. Ia “membesar” gara-gara malapetaka 1965-1966. Puluhan puisi menandai “sejarah” sedang bergerak dan “dibakukan” oleh rezim Orde Baru. Nama itu penting bagi Syu’bah Asa, belum mementingkan Goenawan Mohamad. Rendra tentu ada di perhatian. Di Jogjakarta, Syu’bah Asa sudah berteman dengan Rendra.

Bait keluguan dan kelugasan: Ingin aku menulis sajak/ Sebab Taufiq sudah membuat banyak/ Ia bacakan didepan orang berama-ramai/ Sedang aku disudut terhenyak. Eh, ia kagum atau lempar sindiran? Taufiq Ismali memang sedang di “langit” sastra Indonesia. Buku puisi terbaca orang-orang. Di pelbagai acara, ia membaca puisi dengan suara “biasa” tapi diakui memberi sihir ke penonton. Pada tahun-tahun bersastra, Taufiq Ismail membacakan puisi di pelbagai kota di Indonesia dan di negara-negara-negara jauh. Kepergian untuk membaca puisi. Kunjungan ke pelbagai negara pun jadi puisi.

Syu’bah Asa cemburu dengan hitungan “sudah membuat banyak”. Ia tak menghitung. Di puisi, tak ada angka alias jumlah puisi sudah digubah Taufiq Ismail. Kalkulator mungkin diperlukan untuk menghitung sekian puisi dimuat di sekian majalah dan buku. Syu’bah Asa sedang malas berhitung. Cemburu sampai ke jumlah orang mendengar pembacaan puisi. Aku tak membuka kamus tapi mengerti “ramai” itu kemungkinan puluhan atau ratusan orang. apa Syu’bah Asa belum pernah diundang membaca puisi di hadapan orang ramai? Ah, dugaanku di Jogjakarta dan Jakarta ia pasti pernah ada di panggung-panggung sastra: dipotret dan diserbu tepuk tangan. Aku mungkin mirip Syu’bah Asa, jarang membaca puisi di panggung sastra. Di TBJT (Solo), aku pernah membaca puisi tanpa gerak dan suara memukau. Berdiri kaku dan takut pada mikrofon. Aku pun takut pada lampu-lampu. Pembacaan puisi sulit mendapat pujian. Aku berharap tak lagi membacakan puisi mendingan menulis puisi saja: tetap tak enak terbaca.

Syu’bah Asa mengisahkan: Bila aku menulis sajak/ Mungkinkah sajak lahir dari kehendak/ Sedang “rangsang puitik itu”/ Tak kunjung muncul dari ketiak. Peragu! Ia memang meragu, hampir ke putus asa. Duh, Asa putus asa? Ia memilih kata “kehendak”. Dugaanku, ia sering membaca buku-buku filsafat, agama, dan sastra. Pada masa lalu, “kehendak” itu khas ada di tulisan-tulisan Nietzsche dan Iqbal. Apa ia membaca buku-buku mengenai kehendak dan memindah “pengertian” di puisi? Di kamus-kamus, kehendak mungkin berarti kemauan, keinginan, atau kesungguhan. Di buku-buku filsafat dan agama, kehendak itu megah dan rumit. Di akhir bait, Syu’bah Asa melucu dengan membuat pertentangan: kehendak dan ketiak. Wah, ketiak pasti memalukan dan rendahan!

Aku pernah bangga memiliki ketiak berambut gondrong dan kecut. Bangga belum pernah dihubungkan ke gairah (rangsang) atau kegagalan menggubah sajak. Aku membiarkan saja kecut itu di ketiak, mengartikan “kecut” diri di hadapan sastra Indonesia. Pada masa awal senang menulis puisi, aku terlalu menginginkan pembaca. Puisi wajib terbaca! Tahun-tahun berlalu, puisi-puisiku tanpa pembaca. Sekian puisi memang terbit di buku, koran, dan majalah. Aku meragu ada pembaca. Aku masih ingat puluhan puisiku di majalah Gong diejek dan ditertawakan teman-teman. Mereka emoh mengulas! Syu’bah Asa tak mungkin bernasib sial. Puisi sudah mejeng di Horison berarti kehormatan di hadapan pembaca.

Syu’bah Asa di puisi tampak crigis. Ia merendah dan serba salah. Pencarian bandingan diperlukan di lagak menggubah sajak. Bait ketiga: Kalau engkau menulis sajak/ Mondar-mandirkah engkau didalam kamar/ Mereka-reka sekian lagak/ Atau duduk diam tentang jendela/ Sambil menghabiskan rokok satu pak? Aku pernah seperti di bait buatan Syu’bah Asa. Semula, aku menulis di kertas. Jendela terbuka dan asap rokok milik kamar. Pada 1999, aku mulai menggubah puisi di mesik ketik. Suara, asap, dan kopi menentukan pengetikan puisi. Seingatku, tahun-tahun itu aku tak sanggup membuat puisi bermutu. Kopi dan rokok habis tapi puisi belum jua “manis”. Oh, puisi-puisi pahit!

Puisi digubah Syu’bah Asa pada 1972 mirip pengakuan diri dan membuka aib para penggubah puisi di Indonesia. Tata cara mereka sering sama. Puisi dari kamar-kamar. Puisi dipengaruhi asap rokok. Eh, Taufiq Ismail tentu tak menggubah puisi sambil merokok. Rendra mungkin klepas-klepus saat menulis puisi. Merokok itu mengakibatkan puisi-puisi Rendra bikin pembaca kecanduan dan merasakan bau khas. Aku mengerti puisi berjudul “Tentang Menulis Sajak” buatan Syu’bah Asa itu pengakuan dan sindiran. Aku membaca dan menemu diri di situ. Begitu.

Bocah, Ulah, Musibah

12 Juli 2019, Bandung Mawardi

Sekian tahun, aku kadang diminta sekolah-sekolah untuk melatih murid-murid membaca puisi. Mereka iku lomba rutin diselenggarakan pemerintah. Marah dan jenuh. Oh, mengapa? Aku tak pernah mendapat lembaran-lembaran puisi wajib dan pilihan adalah puisi gubahan bocah atau pantas dibaca bocah. Konon, lomba itu menginginkan bocah mengerti seni dan memanen hikmah puisi. Berpikiran menang mendapat piala itu “wajib” di nalar guru dan kepala sekolah.

Aku sering marah pada panitia. Sejarah sastra Indonesia memuat pula sejarah teks-teks sastra gubahan bocah. Di majalah, koran, dan buku, bocah-bocah sering penulis, tak melulu pembaca. Tumpukan majalah dan koran selama puluhan tahun atau ratusan buku pernah terbit gambang diabsenkan panitia atas restu pemerintah untuk memilih puisi-puisi. Pilihan panitia membikin pusing bocah-bocah. Sekian puisi berulang dipilih mungkin mengentengkan pekerjaan ketimbang mencari lagi. Sekian puisi baru dipilih belum tentu dari pujangga sudah dikenali, tak harus terkenal. Eh, tahun 2019 aku mendapatkan puisi gubahan artis P muncul di lembaran kiriman panitia. P sudah disahkan jadi pujangga. Owalah, kebangetan!

Selama sekian tahun, kiriman panitia adalah puisi-puisi gubahan Sapardi Djoko Damono, Zawawi Imron, Taufiq Ismail, dan pujangga-pujangga tenar tak memiliki kebiasaan menggubah puisi berselera bocah. Tema bocah mungkin mereka mengerjakan tapi belum tentu mejeng di majalah Kunang-Kunang, Si Kuntjung, Zaman, Bobo, dan lain-lain. Di sekian majalah bocah dan keluarga, ada rubrik puisi. Di situ, kita membaca puisi-puisi beragam tema gubahan para bocah di seantero Indonesia. Nah, keberlimpahan puisi itu tak pernah diketahui panitia atau sengaja diabaikan dengan patokan memilih puisi dari para pujangga terkenal. Eh, puisi berat dan tema sulit dimengerti “dipaksa” dibaca bocah dalam lomba dengan juri-juri kadang memicu curiga.

Aku ingin berhenti mengurusi kesemberonoan lomba baca puisi di kalangan murid sudah diadakan rutin sekian tahun. Bocah-bocah itu membaca puisi belum ke kenikmatan. Mereka mungkin memenuhi perintah pihak sekolah: maju ikut lomba. Pesan besar kadang diberikan: menanglah. Pemenuhan target dilakukan dengan mengundang pelatih sering berlatar teater. Situasi mirip dengan gosip sepanjang masa berkaitan bocah-bocah turut di lomba lagu. Mereka tak bersenandung Bintang Kecil atau Pelangi tapi lagu orang dewasa. Di puisi, bocah tak mendapatkan “menu” sesuai umur.

Aku menemukan puisi menggelikan di majalah Zaman, 14 September 1980. Puisi mendahului kelucuan pujangga kurus sedang tenar di Indonesia. Puisi itu berjudul “Telepon Buat Bapak” gubahan Asep Nurcahya. Murid di SD Koblen Tengah I, Surabaya, Jawa Timur. Judul puisi gampang ditebak tentang kerinduan bocah pada bapak? Ah, salah! Puisi itu kurang ajar. Puisi lucu mengandung protes di ranah pendidikan dan konsumsi. Puisi pernah terbit di majalah tapi hilang di percakapan sastra bocah selama puluhan tahun.

Puisi telat diangkat ke kritik sastra mutakhir. Dulu, aku mungkin memilih puisi itu sebelum ketagihan puisi-puisi gubahan Joko Pinurbo atau Afrizal Malna. Puisi bocah tak sekalem bahasa dan imajinasi pemberian Sapardi Djoko Damono di sekian puisi. Telat! Aku mungkin mesti membuat janji untuk melakukan pengumulan, seleksi, dan pemberian pengantar kritis di penerbitan bunga rampai puisi bocah sekian periode. Aku bisa meniru misi HB Jassin. Misi bagi bocah. Kerja membungarampaikan puisi itu tanda pemartabatan sastra ketimbang dibiarkan “berdiam” dalam majalah, koran, dan buku. Pihak-pihak pemerintah tak perlu diomeli agar mau turut di kerja pendokumentasian.

Aku membaca larik-larik buatan Asep. Ngekek! Dulu, ia mungkin mengirim tulisan tangan untuk diketik redaksi dengan permainan tanda baca agak aneh. Di situ, Asep tak menggunakan huruf kapital atau besar. Aku menikmati empat larik dulu: hallo…. pak, hallo, hall…ooo/ bapak bisa datang ke sekolahku?/ aku dimarahi ibu guru, pak…/ gara-garanya sepele. Aku tak perlu melamun seharian. Bocah itu terbiasa menelepon. Ucapan hallo dituliskan terdengar fasih. Ia terbiasa mengucap “hallo”. Asep tak hidup di Indonesia abad XXI dengan gejala mengubah “hallo” ke “salam”.

Bocah itu mengadu atau melapor ke bapak. Di sekolah, ia sedang sial atau bernasib buruk. Ia menggunakan telepon di kantor kepala sekolah atau guru? Eh, ia mungkin menggunakan telepon di luar. Ia dalam kotak telepon. Dugaaan-dugaan bisa salah. Kini, bocah-bocah gampang banget bertelepon tanpa harus melihat benda besar dan kotak telepon di pinggir jalan. Telepon pada masa Asep menggubah puisi masih benda bergengsi di kalangan keluarga berduit. Di kantor, sekolah, perusahaan, tokok, dan hotel, telepon wajib ada. Di rumah, telepon ada di keluarga berada, bukan jelata. Asep menelepon bapak di rumah atau kantor. Telepon agak darurat: meminta bapak ke sekolah. Ia dimarahi guru. Pemberitahuan ke bapak tentang “gara-gara” sepele.

Di puisi, bocah itu menjadi contoh kemanjaan, kemarahan, kesombongan, dan ketololan. Si tokoh dari keluarga mapan. Penggampangan melapor dengan telepon memastikan ada fasilitas-fasilitas mewah di kehidupan keseharian. Ia manja ke bapak, gampang membuat permintaan dan mengadu. Bocah bersalah di pengertian guru minta perlindungan ke bapak. Di telepon, bocah mungkin ingin memanasi bapak agar melabrak guru di sekolah.

Larik-larik lucu terbaca. Aku sulit mingkem. Larik-larik merangsang diriku mesem dan misuh-misuh: aku ditanya empat kali lima berapa/ aku jawab; saya tahu, tapi beri saya – / deodorant setiap saat/ kata ibu guru/ jual saja televisi berwarna bapak/ hallo… bapak. Tokoh di puisi itu bodoh. Gagal mengerti dan menggandrungi matematikan. Guru marah pada si bodoh dan sombong itu wajar. Eh, seruan guru dibalas murid. Jawaban atas soal matematika terhubung dengan nalar-imajinasi konsumsi ditebarkan iklan-iklan di pelbagai media. Si murid memihak ke deodorant ketimbang menjawab soal secara benar. Matematika tiada guna saat hidup memerlukan “deodorant setiap saat”.

Guru ingin bijak dan memberi hukuman setimpal. Guru kebalasan jadi marah pun masih lumrah. Si murid berani mengejek dan menantang mentang-mentang hidup di kemanjaan dan memiliki sekian hal di ritual konsumsi keseharian. Bocah itu ingin merasakan kenikmatan konsumsi dan meniru orang dewasa di pemanjaan hidup. Perkataan ibu guru mengingatkan pada sumber-sumber bocah terpengaruhi iklan dan beragam acara di televisi. Bocah menganggap televisi itu kiblat. Televisi itu kebenaran. Eh, ibu guru membalas ejekan murid: “jual saja televisi berwarna bapak.” Guru bermaksud menghindarkan bocah dari “musibah” televisi berwarna. Sejak beribadah di depan televisi berwarna, si bocah memilih bodoh dan kehilangan adab di sekolah. Televisi berwarna itu pasti diadakan bapak di rumah demi capaian-capaian hiburan sepanjang hari.

Aku menganggap puisi berjudul “Telepon Buat Bapak” itu ampuh ketimbang puisi-puisi pilihan panitia di lomba rutin untuk murid-murid SD setiap tahun. Puisi digubah bocah. Puisi mengisahkan zaman saat bocah berulah gara-gara ketagihan menonton televisi dan memiliki kemanjaan bentukan keluarga. Puisi bertema pendidikan dengan tautan-tautan teknologi komunikasi, konsumsi, keluarga, dan adab. Puisi wajib dipilih jika aku mewujudkan kerja meniru HB Jassin: mengadakan bunga rampai. Ah, sebutan itu mengandung kekangenan ketimbang antologi. Begitu.

 

“Juragan Puisi” dan “Pengutang”

3 Mei 2019, Bandung Mawardi

Pada suatu hari, aku membuat jawaban ngawur pada bakul buku di Gladak (Solo). Pagi sumuk, ia mengirim pesan pendek: “But, ada 45 bundel Tempo.” Waduh, ia mau “menghancurkan” hariku dengan memberi jawab bakal memberi untung besar. Menit-menit tanpa jawaban. Aku memilih menulis resensi, hiburan kecil ketimbang kepet-kepet dan misuh. Jawaban harus diberikan mumpung siang belum ganas. “Piro?” Pesan dikirimkan berharap mendapat harga murah. Eh, jawaban datang mengabarkan duit hampir sejuta wajib disetorkan bila ingin membawa pulang tumpukan Tempo mungkin setinggi 6 meter. Tempo masa 1980-an dan 1990-an, edisi tebal ketimbang Tempo sekarang.

Dulu, perjumpaanku dengan Tempo memberi getar saat membaca “catatan pinggir”, kolom, dan resensi buku. Goenawan Mohamad, nama memikat. Ratusan “catatan pinggir” terbaca asal rampung tanpa segera mudeng. Remaja membaca Tempo agak sulit membedakan nggumun atau bingung. Bundel-bundel Tempo di perpustakaan SMA sempat terbaca di halaman-halaman pilihan saja. Kemauan mengoleksi mulai muncul berbarengan membeli Horison, Ulumul Quran, Prisma, dan Budaya Jaya. Sejak SMA, koleksi Tempo lawas cukup membuatku mengerti perbedaan sekian tulisan dari tokoh-tokoh tenar.

Sejak 1998 sampai sekarang, aku menetapkan diri menjadi pembaca Tempo. Ah, aku belum mau menjuluki diri sebagai “pembaca sejati”. Pengoleksi? Nah, keputusanku untuk mengoleksi Tempo edisi 1970-an memang janji minta dipenuhi. Aku ingin membaca Tempo bermaksud membaca Indonesia. Duh, niat agak sombong! Tempo merangsangku menekuni bacaan-bacaan sastra, sejarah, agama, dan seni. Filsafat dan politik belakangan saja.

Pada hari sumuk, aku memberi jawaban “membeli” 45 bundel Tempo di Gladak. Duit tak ada. Lho! Aku pun “merampok” orang-orang tercinta dan terkasih. “Berilah uangmu untuk pembaca Tempo!” Jawaban datang: melegakan. Tempo bakal diusung ke Bilik Literasi. Duit belum mencukupi. Utang pun jadi pilihan wajar. Pada siang selesai gerimis, adegan membawa 45 bundel Tempo dalam 4 karung diselenggarakan dengan saksama dan tempo tak singkat. Sepanjang jalan, aku merasa tolol telah memberikan lembaran-lembaran merah dan omongan berutang demi kemanjaan membaca-mengliping Tempo.

Tempo memang bukan mutlak Goenawan Mohamad. Aku mengingat nama itu mula-mula di buku berjudul Seks, Sastra, dan Kita. Buku kumpulan esai terbitan Sinar Harapan itu jadi bacaan mengantar ke kagum dan ingin meniru jadi penulis esai. Di hadapanku, Goenawan Mohamad itu esais, belum penggubah puisi. Pertemuan dan keinginan mengoleksi buku puisi Goenawan Mohamad di urutan belakang. Tahun demi tahun, belasan buku dicantumi nama Goenawan Mohamad terbaca dan terpuji.

Pada suatu hari, aku membaca Horison edisi November 1973. Tahun itu aku belum jadi pembaca. Namaku belum tercatat di kertas-kertas keluaran kelurahan. Tahun terlalu jauh dari inginku mengundang puisi-puisi di biografiku. Di situ, aku temukan puisi-puisi gubahan Goenawan Mohamad. Aku senang membaca puisi-puisi panjang. Puisi berjudul “Kematian Sang Juragan” terasa memanggil minta ditatap dan ditafsir sembarangan.

Puisi bercerita: runtut dan apik. Goenawan Mohamad menulis: Langit kering/ bila aku mati// Angin asing/ bila aku mati. Kematian dikesankan rupa dan rasa alam. Ah, si penggubah puisi menjadikan mati itu peristiwa agung bertanda bagi pemandang langit dan perasa angin. Kejadian menguatkan kematian: (Sabit jatuh pada debu/ Langkah jatuh pada debu/ Darah terhenti pada debu/ Tubuh rubuh pada debu// Pada jam 1, lewat tengah hari). Sabit itu benda di kematian. Sabit berdarah setelah memenuhi perintah si pemegang. Peristiwa di puisi itu mirip penggalan film 1 menit. Semua ke debu. Oh, debu mengartikan tanah sanggup menerima segala: sabit, langkah, darah, tubuh. Kejadian tanpa mencantumkan alamat lengkap. Pembaca cuma mengarahkan ke desa, tempat hidup para petani dan juragan.

Berulang, aku membaca kaitan mati dan alam: Fajar tak nyingsing/ bila aku mati// Bukit terguling/ bila aku mati. Ah, siapa itu juragan mati masih berkata megah dan memberi resah? Kata-kata dalam kurung perlahan batu, bukan lagi debu. Aku membaca di tuntutan merdu kata-kata: (Sinar kucut pada batu/ Awan keruh pada batu/ perempuan nangis pada batu:/ “Kenapa ia mengutuk begitu”// Hanya laknat yang tahu). Wah, si penggubah puisi sedang mengemari “u” saat terbaca dan terdengar. Batu itu keras. Batu itu dendam dan perasaan terluka? Pada batu, tanggapan kematian diberikan secara lekas dan mengeras.

Puisi ditulis 1973. Puisi mengenai petani dan juragan mati. Puisi memiliki padi dan air menetapkan kehidupan di desa agraris. Goenawan Mohamad menulis puisi, bukan berita dipuitiskan. Suasana tegang dituliskan: (Pada jam 4 menurut matahari/ para petani berangkat lagi/ Tapi ajal tak juga pergi./ “Kau masih di sini”, sapa tukang kopi/ Tamunya hanya menyeringai. Menanti). Di situ, aku membaca “ajal” dijadikan tokoh menentukan keberakhiran juragan dan nasib para petani. Puisi itu menandai Goenawan Mohamad pun menuliskan desa, tak selalu kota-kota di Indonesia atau dunia. Kota pun kadang tiada di peta-peta resmi. Puisi di masa 1970-an mungkin “mengikuti” kecenderungan puisi-puisi gubahan Rendra. Dugaanku saja. Goenawan Mohamad tentu rajin membaca puisi-puisi asing berbahasa Inggris ketimbang puisi-puisi lahir di Indonesia. Sekian puisi asing pasti memberi pengaruh saat menuliskan desa bertokoh juragan dan petani.

Dua bait tanpa menuntut jawab berlebihan: Kenapa menanti/ bila aku mati// Bukankah tanah berpadi/ bila aku mati. Penebusan dan akibat dari kematian. Goenawan Mohamad ingin rapi di gubahan puisi. Ia enggan mendesak pembaca ke letih dan tersesat jauh. Puisi itu tak terlalu bermisteri. Aku membaca dengan kantuk dan lampu berkedip. Puisi panjang jarang dipilih para pembaca atau kritikus sastra.

Puisi itu datang setelah buku berjudul Pariksit terbit, 1971. Buku tipis dengan garapan sampul oleh Rudjito. Di buku 32 halaman, aku membaca puisi-puisi awal gubahan Goenawan Mohamad, sebelum ia semakin rajin menerbitkan buku-buku puisi saat usia menua. Penggubah puisi itu tampil ke pembaca dengan foto keren. Berdandan rapi dan berdiri. Pada 1971, ia masih muda dan bergairah menggerakkan majalah Tempo dan Horison. Ia berada di jalan sastra dan pers. Aku perlu mengutip di buku Pariksit, buku sempat “membikin” Goenawan Mohamad harus bertaruh malu: “Kumpulan puisinja jang pertama inipun diterbitkan karena desakan temannja, jang sudah berkali-kali memintanja. Meskipun demikian, dalam pembitjaraan puisi Indonesia kontemporer banjak jang menjebut-njebut pengaruhnja jang tjukup besar…”

Buku terbit tanpa janji cetak ulang. Buku menandai Goenawan Mohamad berusia 30-an tahun. Buku belum berpenampilan cakep tapi membuktikan keampuhan Goenawan Mohamad untuk terus menulis puisi-puisi sampai sekarang. Ia menjadi “juragan puisi”. Pada usia tua, ia malah keranjingan menulis puisi-puisi mengenai Don Quixote. Puisi diimbuhi esa-esai. Pada abad XXI, Goenawan Mohamad meninggalkan juragan di masa 1970-an. Juragan tertinggal jauh.

Aku memilih puisi “Kematian Sang Juragan” untuk “menunda” pusing mengumpulkan duit melunasi utang 45 bundel Tempo. Juragan di puisi mungkin tak berutang. Seingatku, para petani lumrah mengalami hidup berutang demi rumah, makan, sekolah, atau sakit. Aku malah berutang Tempo. Eh, Goenawan Mohamad juga berutang. Di Horison, aku mengutip: “Eseis, penyair dan pimpinan redaksi mingguan berita Tempo ini sudah siap dengan kumpulan puisinya yang kedua. Dan kabarnya, iapun sedang menyiapkan sebuah antologi puisi Indonesia, bersama Sapardi. Entah kapan siapnya.” Setahuku, buku garapan Goenawan Mohamad dan Sapardi Djoko Damono itu belum terbit. Ia jadi “pengutang” pada pembaca menanti puluhan tahun. Begitu.

“Srimenunggu” di “Stasion”

2 Mei 2019, Bandung Mawardi

Hari-hari menjelang coblosan pemilu, aku dan teman-teman menonton film di Solo Square. Minggu, 14 April 2019, hari sendu dan haru. Aku sendu gara-gara menonton film berjudul Ave Maryam. Cerita dipaksa pelik dan lamban. Aku mengerti sejak awal, membiarkan cerita itu berakhir tanpa dugaan-dugaan berlebihan. Di film, biarawati dan pastor terlibat di rangsang asmara. Hari-hari pengabdian pada Tuhan mendapat “belaian” mendadak, membangkitkan perasaan saling menginginkan dan “terikat”.

Di awal, aku melihat Maryam membaca novel berjudul Madame Bovary gubahan Gustave Flaubert. Oh, bacaan itu menantang bagi biarawati menjelang usia 40 tahun. Novel itu sengaja diadakan penggarap film, berharap kita kaget atau memastikan novel itu penentu jalinan “terlarang” antara Maryam dan Romo Yosef. Aku sendu di adegan dua orang itu setelah pulang dari pengembaraan asmara melintasi hutan dan berhenti di pantai. Kepulangan dalam hujan deras. RomoYosef tergesa keluar dari mobil, berteduh dengan tubuh gemetaran. Ia pun merokok. Di seberang, Maryam menanggungkan kecamuk. Tubuh itu tegang. Ia tak kuasa sendirian, menatap sejenak Romo Yosef di sela-sela tetesan hujan. Aku anggap adegan itu tersendu dan terharu.

Adegan agak sendu dan haru di stasiun. Maryam ingin menenangkan diri. Ia harus pergi. Dua tas dibawa untuk naik kereta api. Ia memohon pada Tuhan minta kekuatan. Duduk di gerbong, ia “melihat” Romo Yosef di luar. Di jendela, raga lelaki tampak. Maryam lekas keluar: mencari Romo Yosef. Tiada. Di stasiuan, Romo Yosef absen tapi terasa ada di hati dan tatapan mata Maryam. Aku bersedih melihat Maryam menangis di stasiun. Kereta telah berangkat. Duka belum jua berakhir. Aku melihat di detik-detik ingin memberi uluran tangan dan memberi kata untuk menenangkan Maryam saat di stasiun.

Pulang, aku mengingat stasiun, mengingat novel berjudul Stasiun gubahan Putu Wijaya. Novel itu aku baca saat SMA, sebelum memiliki pengalaman mendatangi stasiun atau naik kereta api. Novel sempat memberiku panggilan agar memiliki pengalaman puitis di stasiun, bergariah menulis tentang kereta api. Penantian lama. Aku berhasil naik kereta api jurusan Solo-Jogjakarta pada masa 2000-an. Perjalanan tak pernah romantis. Stasiun belum berhasil jadi puisi. Aku belum sanggup menaruh stasiun dan kereta api di kertas.

Sehari setelah menonton Ave Maryam, aku kembali membaca puisi dari pujangga sedang tenar: Joko Pinurbo. Pada 14 Februari 1988, ia menulis puisi berjudul “Di Stasion”. Aku berperan pembaca saja, bukan editor. Joko Pinurbo menulis “stasion”, bukan “stasiun”. Puisi itu dimuat di majalah Citra Yogya edisi Januari-Februari 1991. Tahun itu aku masih terlalu jauh dari puisi atau bacaan-bacaan sastra. Aku belum pernah melihat dan memegang novel Nyonya Bovary, edisi terjemahan ke bahasa Indonesia diterbitkan Pustaka Jaya. Aku belum beruntung dengan menemukan novel gubahan Putu Wijaya.

Joko Pinurbo menulis: Aku tak tahu siapa namamu./ Tapi seperti pernah kulihat wajahmu di sebuah senja/ musim kemarau yang penuh angin dan debu. Ah, puisi dimulai dengan “tak tahu nama”. Apa mungkin ia bernama Srimenanti seperti judul novel gubahan Joko Pinurbo? Novel terbitan Gramedia Pustaka Utama itu diacarakan di Jogjakarta, 31 Maret 2019. Aku tak mengikuti acara tapi membeli novel Srimenanti. Pukul 7 malam, aku dan teman-teman harus lekas menuju Stasiun Tugu. Pulang, setelah dua hari di Jogja. Di stasiun, raga sudah capek. Sakit belum sembuh. Suasana ramai. Siksaan! Perjalanan kereta api malam hari tanpa cerita. Aku termangu. Aku pun tidur tak tenang. Sebelum masuk gerbong, aku sempat membaca sekian halaman Srimenanti. Selama 1 jam di kereta api, aku memilih “menidurkan” novel dalam tas. Lho, menjauh dari puisi!

Pada bait kedua, Joko Pinurbo menambahi cerita ke pembaca: Waktu itu aku duduk di beranda/ menunggu seseorang yang bakal tiba – tapi entah siapa./ Hanya bayangmu melenggang pelan di depanku./ melambaikan tangan, lalu lenyap di balik tikungan./ Sejak itu kau kukenang dalam setiap mimpi dan igauan. Di situ, si tokoh “menunggu”, bukan memilih diksi “menanti”. Aku batalkan tuduhan bahwa ada nama Srimenanti. Oh, aku meralat dengan nama “Srimenunggu” saja. Si penunggu di beranda. Ah, beranda selalu saja mengingatkan puisi gubahan Goenawan Mohamad. Aku malu dengan selalu “teringat” di setiap membaca puisi. “Teringat” itu semakin membara setelah khatam novel berjudul Srimenanti. Joko Pinurbo raji mengingat alias mengutip puisi sendiri dan puisi gubahan Sapardi Djoko Damono. Novel itu “kereta api”. Penumpang adalah “puisi-puisi”. Maryam tak jadi naik kereta api. Ia menangis di stasiun tanpa ditemani puisi.

Aku sampai ke bait terakhir. Joko Pinurbo mendalam mengisahkan stasiun, eh, stasion. Aku membaca dengan melupakan Maryam dan Srimenanti sebentar: Malam ini, ketika peluit menjerit/ kubimbing kau ke atas kereta dan “selamat jalan”./ Mungkin kau kekasih atau sahabat setia,/ Atau kusebut saja kau kerinduan, atau baying-bayang diri/ yang senantiasa ada – walau tiada/ Kereta berangkat, pandangmu pun memberat./ Dan untuk lambaian tanganmu aku bergumam:/ bahwa nanti, di stasion itu, kita akan kembali bertemu. Puisi bertahun 1991 tak pernah dianggap terbaik oleh Joko Pinurbo. Ia memilih memiliki puisi-puisi apik bermula di buku berjudul Celana (1999). Puisi-puisi terdahulu biar berlalu.

Kini, ia membuat peringatan 10 tahun Celana dengan terbitan novel berjudul Srimenanti. Pembaca menemukan pengakuan dan sejarah penulisan celana menentukan biografi Joko Pinurbo. Pilihan kutipan puisi-puisi gubahan sendiri memastikan emoh mengacu ke puisi-puisi lawas. Joko Pinurbo ingin melupakan meski sekian orang masih membaca dan mengliping. Di novel, kita jangan mencari kutipan-kutipan puisi sudah dianggap untuk masa lalu saja. “Di Stasion”, puisi cuma untuk pembaca lama saja.

Aku semakin mengerti bahwa para penggubah puisi di Indonesia sering menulis stasiun atau kereta api. Di cerita pendek, kita juga sering menemukan keromantisan gara-gara stasiun atau kereta api. Gejala itu bukan mutakhir. Di sastra peranakan Tionghoa dan sastra berbahasa Jawa sejak awal abad XX sudah keranjingan dengan suasana stasiun dan laju imajinasi kereta api. Joko Pinurbo lumrah tak terlalu kepencut lagi menulis selusin puisi stasiun dan kereta api. Ia sudah memilih celana, bersambung ke puisi-puisi mutakhir mengurusi bahasa Indonesia dan kamus. Begitu.

 

 

 

Bapak: Rindu dan Waktu

1 Mei 2019, Bandung Mawardi

Jogjakarta, 31 Maret 2019, aku berkumpul bersama orang-orang ingin memuliakan sastra. Di sampingku, tiga pengarang mulia: Joko Pinurbo, Chynta Hariadi, dan Sindhunata. Dua lelaki itu sering aku temui di pelbagai acara. Nah, penulis buku puisi berjudul Ibu Mendulang Anak Berlari baru bertemu pertama kali. Ia memang ibu bagi anak dan ibu bagi puisi. Aku agak cerewet mengenai “puisi terlibat” untuk merangsang khotbah tiga pengarang. Sekian menit, obrolan sering bertokoh ibu ketimbang bapak. Dua orang penggubah puisi melulu menulis ibu. Sindhunata memilih terlibat bersama kaum miskin dan seniman pinggiran.

Ragaku saat itu sakit. Aku sengaja menahan dengan lagak lelucon dan seruan-seruan agak seram mengenai kesusastraan Indonesia. Pada tema ibu, aku mulai merasa ada “pemulihan” raga agar tak pingsan atau mampus saat acara. Ibu terlalu menguasai ribuan puisi di Indonesia, bukan bapak. Aku jarang membaca puisi apik bertokoh bapak, pengecualian di puisi gubahan Rendra, Darmanto Jatman, dan Gunawan Maryanto. Bapak belum “laku” di Indonesia, dituliskan dalam puisi-puisi memikat.

Senja itu obrolan cenderung ibu. Bapak tak dilupakan tapi memang cuma mendapat sekian menit di ingatan dan pujian. Bapak biasa absen atau dibunuh di daftar puisi Indonesia. Dugaan agak ngawur! Aku berniat untuk menjawab dugaan itu melalui kerja mengliping. Aku wajib mengumpulkan ratusan puisi bertokoh bapak, sejak awal abad XX sampai 2019. Ah, janji gombal!

Aku malu membual. Pembuktian aku temukan di Budaja Djaja edisi Februari 1974. Aku membaca sekian puisi gubahan Ajatrohaedi. Puisi berjudul “Bulan Terahir.” Di situ, “k” tiada. Dulu, orang mungkin menulis “terachir”. Ah, pengejaan! Aku tergoda pada “k”. Sejak ratusan tahun lalu, “k” boleh ada atau tiada di penulisan bapak dan bapa. Aku cenderung mulai memihak ke bapa ketimbang bapak setelah membaca biografi politik Soekarno dan Soeharto. Bapak di alur pendidikan-pengajaran Ki Hadjar Dewantara pun masih memberi “trauma” belum sembuh. Bapa terasa merdu. Eh, bapa itu religius.

Puisi ditulis di negeri asing. Suasana Indonesia cuma muatan kecil. Ajatrohaedi sedang berada di Eropa, sering di Belanda. Ia tak sia-sia menempuhi perjalanan jauh tanpa pamrih berpuisi. Jadilah puisi-puisi mengabarkan diri di negeri asing. Puisi tak perlu ikut asing. Puisi gampang terbaca bagi kita mengerti bahasa Indonesia. Ajatrohaedi tak menulis puisi dalam bahasa Belanda.

Puisi panjang bertokoh bapak dan anak. Ibu kita tinggalkan sejenak di puisi-puisi gubahan Sutan Takdir Alisjahbana, Asrul Sani, Rendra, Rukiah, dan Zawawi Imron. Ajatrohaedi menulis: Bulan terahir/ waktu makin lambat/ merambat.// Di belahan bumi sana/ para penuggu waktu/ menghitung goresan di pintu:/ Sebulan lagi,/ tepatnya: tigapuluh hari/ ‘kan terdengar deru/ pesawat yang mendarat./ Semoga ia selamat/ seperti ketika berangkat/ sepuluh bulan yang lewat. Ia dirindukan keluarga di Indonesia. Ia meninggalkan Indonesia telah lama. Rindu dan waktu. Orang-orang di Indonesia merindukan suami-bapak.

Siapa itu suami-bapak bernama Ajatrohaedi? Ia lahir di Jatiwangi, Cirebon, Jawa Barat, 5 Desember 1939. Lulusan jurusan arkeologi Universitas Indonesia (1964). Oh, ia pernah ke Eropa! Pada 1971-1973, Ajatrohaedi belajar linguistik dan filologi di Universitas Leiden, Belanda. Pada 1975, ia melanjutkan studi ke Universitas Grenoble III, Prancis (Pamusuk Eneste, Leksikon Kesusastraan Indonesia Modern, 1990 – Linus Suryadi AG, Tonggak 2: Antologi Puisi Indonesia Modern, 1987). Di dua negara memiliki pengarang-pengarang berpengaruh di dunia, ia menetapkan diri sebagai mahasiswa dan penggubah puisi. Ia tetap saja menulis dalam bahasa Indonesia dan Sunda. Ia manusia pintar meski belum setenar Ajip Rosidi. Dua pengarang bersaudara. Mereka sama-sama berkacamata. Dulu, Ajatrohaedi ke Eropa. Eh, Ajip Rosidi ke Jepang. Di pelbagai tempat untuk studi, bekerja, dan hidup, dua orang itu ketagihan berpuisi. Aku cuma berada di pinggiran Solo, belum kena candu puisi seperti mereka. Aku mencemburui puisi dengan menulis esai dan resensi. Ah, peristiwa harian tanpa rindu seperti pengarang-pengarang pernah berada di negeri jauh.

Pada suatu hari, Ajatrohaedi mengalami: Aku terjaga:/ di atas meja/ tumpukan surat,/ potret anak pertama/ mandi telanjang bulat/ Akankah nanti/ ia mengenaliku?/ (Delapan bulan ketika itu/ umurnya./ Cuma nangis dan tertawa,/ tidur dibuai alunan/ suaraku yang sumbang./ Lagu yang pasti juga kudengar/ ketika belum bisa mengingat/ selain nangis dan tertawa). Ia kangen anak di rumah. Pada masa 1970-an, kangen itu surat. Telepon masih mahal. Di hadapan surat dan potret, bapak itu menahan dingin Leiden dan menginginkan kehangatan memuluk anak.

Dulu di rumah, ia berlagu sumbang. Di negeri asing, ia pemilik kata untuk menggubah puisi. Apa puisi itu sumbang? Puisi sederhana tanpa ada kesombongan metafora dan penokohan. Bapak di kewajaran ingin pulang. Bapak ingin lekas menggendong anak dan berbagi cerita meski anak belum mengerti puisi. Aku anggap puisi sederhana itu pantas masuk daftar puisi bertokoh bapak di Indonesia, dari masa ke masa. Puisi mudah terbaca bagi siapa saja. Aku masih belum ingin meniru puisi gubahan Ajatrohaedi. Puisi mencatat pengalaman rindu. Puisi mungkin ditulis di hitungan menit, bukan sehari-semalam.

Pada bait terakhir: Sebulan lagi/ semoga tidaklah/ terlalu lama/ menanti. Bait boleh ditaruh di sepucuk surat. Eh, puisi itu malah mejeng di Budaja Djaja dan dimuat ulang di Tonggak 2. Puisi sederhana menemukan halaman untuk dibaca dan dikenang. Aku membaca puisi itu setelah kegandrungan membaca puisi-puisi bertokoh ibu. Kecewa sih. Aku lama melupakan bapa(k) di perpuisian Indonesia. Kiamat belum datang. Aku masih mungkin membuat esai panjang mengenai puisi dan bapak. Esai belum tentu terbaca oleh orang-orang di hadapan koran, majalah, atau gawai. Esai harus telanjur ditulis. Begitu.

Duh, Puisi Mengerikan!

30 April 2019, Bandung Mawardi

Foto lelaki berkacamata dan rambut rapi. Aku mengingat foto itu membenarkan kekagumanku pada novel berjudul Olenka. Novel aneh tapi menggemaskan bagi pembaca masih SMA. Dulu, ia membaca asal selesai. Misi mengerti cerita belakangan saja. Selesai sudah capaian bagi murid mengutuk hari-hari berisi puluhan mata pelajaran. Ia mau novel, bukan buku pelajaran! Ia malah sempat bersumpah mau memusnahkan semua buku pelajaran demi tumpukan novel atau buku puisi. Di kelas, ia sering menunduk selama pelajaran. Di laci, tangan membuka halaman-halaman novel. Olenka pernah ada di situ. Buku dari lelaki berkacamata berjudul OrangOrang Bloomington juga pernah di laci.

Pengutuk buku pelajaran dan pengagum novel itu aku. Semula, aku meminjam dua buku dari perpustakaan, sebelum berhasil membeli di belakang Sriwedari dan Gladak. Lelaki berkacamata bernama Budi Darma pernah jadi idaman. Pengarang sangar! Ia manusia-akademik, pernah kuliah di Amerika. Di Surabaya, ia itu dosen. Aku mengagumi ia sebagai pengarang. Kagum bertambah setelah mendapat buku berjudul Solilokui, buku ditanami esai-esai. Aku tak mengira bakal jatuh ke lumpur esai, bukan di genangan novel. Solilokui, buku tipis berpameran sinis.

Alinea paling sangar dari Budi Darma: “Saya menjadi pengarang karena takdir. Bakat, kemauan, dan kesempatan menulis hanyalah rangkaian pernyataan takdir. Dan sebagai seseorang yang mempercayai kekuasaan takdir, mau tidak mau saya menundukkan kepala kepadanya.” Dulu, aku membaca itu sambil cengengesan, belum ada kemauan merenung. Takdir, pilihan kata terlalu menakutkan dan mengesankan. Budi Darma menulis takdir sebagai manusia dewasa sudah pengarang. Aku belum pengarang, tak “menundukkan kepala” untuk sampai ke lumpur esai.

Aku mengenali Budi Darma dengan cerita pendek, novel, dan esai. Apakah ia cukup cuma menulis itu-itu saja? Ia pastilah menulis puisi. Sejak SMA sampai lulus kuliah, aku belum menjumpai sebiji puisi gubahan Budi Darma. Mataku tak awas saat membaca majalah-majalah lawas dan buku kumpulan puisi bersama? Dulu, aku belum memiliki mata-memindai atau menerapkan jurus nginjen tanpa beleken. Aku masih lelaki tak jeli. Kelemahan belum alasan ditangkap polisi, diceramahi pak camat, atau dikeplak gali kampung.

Abad XX terlewati, aku mulai melihat ada puisi-puisi di majalah ditulis oleh Budi Darmo dan Budi Darma. Dua nama itu satu atau dua orang? Nalar sembronoku ke pilihan bahwa Budi Darmo dan Budi Darma itu lelaki berkacamata menulis Olenka dan Raffilus. Apakah ia mula-mula menulis puisi, sebelum tenar di prosa? Aku tak mungkin kembali ke sekolah atau kampus berharap jawaban dari guru atau dosen. Eh, mereka belum tentu kaum mendem novel.

Masa lalu sebagai penggubah puisi “menghilang” setelah jumlah pengagum terus bertambah. Budi Darma itu prosa! Ia menjadi “raksasa” necis dan koclok di kesusastraan Indonesia. Ia meraih penghargaan-penghargaan berhak diberitakan di pelbagai majalah dan koran. Ia pun pembuat esai bermutu di Indonesia, bukan esai bermoto keminter dan kemaki sembarangan. Aku perlahan terbujuk ke esai-esai, mulai memberi dua arah kekaguman. Di hadapan sebiji puisi, aku belum ingin membuat arah ketiga.

Puisi berjudul “Ibu” gubahan Budi Darma dimuat di majalah Horison edisi Februari 1970. Puisi itu hadir bersama puisi-puisi gubahan Iman Budhi Santosa, Junus Mukri Adi, Sutardji Calzoum Bachri, dan Rajani Sriwidodo. Judul puisi gubahan Budi Darma paling tak bermutu. Lho! Ia malas membuat judul. Budi Darma juga tercantum sebagai penulis tiga cerita pendek: “Krematorium Itu Untukku”, “Randjang”, “Nancy Crie”. Di Horison, ia itu penulis satu puisi dan tiga cerita pendek. Wah! Ia sedang menjalani takdir. Oh, takdir memilih Budi Darma saja, belum memilihku agar menjadi novelis seperti Sapardi Djoko Damono, Goenawan Mohamad, dan Joko Pinurbo. Eh, mereka itu penggubah puisi! Aku menganggap mereka novelis setelah khatam membaca trilogi Hujan Bulan Juni, Surti + 3 Sawunggaling, dan Srimenanti. Mereka menjalani takdir sebagai novelis, setelah tenar banget di puisi.

Budi Darma betah ditakdirkan di puisi? Duh, aku memilih membaca puisi berjudul “Ibu” sebelum setor tuduhan. Budi Darma menulis: Dari atas rochku. Terlahir lenturanlenturan/ gumpalan sekian tjahja. Jang berkelebat/ Gesit dan tjendekiawan. Dari sekian/ Misteri. Pada hidup. Pada hidup dan/ Pada hidup. Jang begini ini. Penggalan puisi itu kerikil-kerikil berbobot 1 ton. Aku tak kuat mengangkat semua. Aku memungut sedikit demi sedikit. Capek dan menemukan kesan-kesan keringat atau menggeh-menggeh. Budi Darma terlalu bijak di puisi. Aku terlalu ngasak berakibat gagal mengerti.

Pada masa 1970-an, sebiji puisi buatan Budi Darma itu menjengkelkan. Pemenuhan takdir dengan menulis puisi “menganggu” kekagumanku pada suguhan novel, cerita pendek, dan esai. Budi Darma berhak menggubah puisi meski ia tak seperti Jorge Luis Borges. Aku membaca buku tipis dijuduli Esai Autobiografi (2019) bertokoh Borges. Ia mengawali dengan puisi menempuhi jalan sastra. Pada usia menua dan buta, ia kembali ke puisi. Aku telanjur memuja Borges sebagai pemberi prosa-prosa memukau.

Aku lanjutkan mengutip puisi gubahan Budi Darma: Dari atas rochku/ Pula. Memantjing. Gumpalan sekian tjahja/ Barulah kemudia terbelalak mataku/ Tanpa ragu. Diseratus uban rambutku/ Diseratus dosa tubuhku/ Sampaipun mati. Ternjata ini ibuku sendiri/ Sendiri. Kutiduri sendiri/ Djatuh kutuk/ dan/ aku/ terbeliak. Duh, puisi mengerikan! Aku cuma sanggup membaca. Puisi belum terlalu jungkir balik tapi aku mengaku bodoh untuk memberi tafsir seribu kata.

Puisi berjudul “Ibu” itu setahuku belum pernah dipilih dalam lomba baca puisi. Aku khawatir pembaca senut-senut. Di panggung, puisi sulit gubahan Budi Darma mungkin membikin kuping mendengung. Puisi terbaca mata tanpa harus disuarakan? Ah, aku membaca di Horison saja, belum ada ingin membaca dalam edisi buku.

Aku sampai di halaman mengenalkan pengarang, di halaman belakang Horison. Simaklah: “Seorang pengarang produktif dari Djawa Timur, Budi Darma, banjak mengirimkan esei dan tjerpen-tjerpen kemadjalah Horison. Budi Darma bekerdja sebagai dosen bahasa Inggeris di Surabaya, dan akan melanjutkan studi ke Amerika Serikat.” Budi Darma dikabarkan menulis esai dan cerpen. Puisi? Penulis puisi berjudul “Ibu” di Horison itu Budi Darma mau kuliah ke Amerika Serikat atau Budi Darma bukan berasal dari Jawa Timur? Wah, redaksi Horison beri misteri. Mereka lupa mengabarkan atau lupa mencantumkan data diri Budi Darma bisa lain?

Budi Darma itu lahir 25 April 1937. Gelar sarjana diperoleh di UGM. Pada saat menggubah puisi berjudul “Ibu”, ia berumur 33 tahun. Ia sudah dewasa, berkacamata, dan mumpuni di sastra. Pada umur 20-an, ia mungkin rajin menulis puisi-puisi belum tentu terbit di pelbagai majalah dan buku. Kuliah di UGM tak menulis puisi saat bersua dengan para pengarang tentu kemustahilan. Budi Darma mahir kata. Ia pasti mengerti perpuisian dunia dan Indonesia. Nah, kemengertian itu menghasilkan puisi “menjengkelkan” di Horison.

Aku pernah bertemu dan bercakap sebentar dengan Budi Darma saat di Makassar, sekian tahun lalu. Aku tak sempat memastikan bahwa ia dulu penggubah puisi tak gagal. Detik-detik pertemuan itu belum bisa meredakan debar di dada, setelah aku memberi pidato di hadapan ratusan pengarang tenar. Pidato picisan tapi memberiku menit bersejarah untuk girang sejenak di jalan kesusastraan Indonesia. Begitu.

Penuntun: “Dalam” dan “Sempit”

29 April 2019, Bandung Mawardi

Masa lalu, masa melihat wajah serius. Wajah itu milik lelaki pintar omong. Di pelbagai acara di Solo, aku sering melihat lelaki itu bicara segala hal. Ia di keseriusan omongan, tak lupa memberi daftar bacaan. Wajah itu bertaburan kata. Ia bernama Halim HD. Pada saat bicara, ia memiliki pesona dengan merokok. Kata-kata berhamburan bersama asap. Aku mendengar dan mencatat. Aku mulai membuat album ingatan omongan dan daftar buku dari mulut Halim.

Perjumpaan awalku teringat memalukan. Aku masih berwajah burasen. Di keseharian aku bersekolah dengan celana abu-abu dan baju putih. Baju sering lusuh dan berbau apek. Hidupku pun berbau kata gara-gara kagum dan cemburu pada Halim. Ia fasih ngomong, dari puisi sampai film, dari teater sampai politik, dari filsafat sampai sejarah. Dulu, aku menduga lelaki itu menangan di Solo. Orang-orang sulit bertarung kata atau mengalahkan Halim di sekian diskusi.

Aku menganggap Halim itu manusia ampuh. Anggapanku terbenarkan di masa berbeda saat aku menemukan halaman cuilan biografi Halim di Tempo. Pembacaan telat, setelah aku sering bertemu Halim tapi sulit ngobrol akrab alias bergurau. Di mataku, ia harus serius. Aku pun ingin serius. Masa berseragam SMA dengan bacaan beragam, aku mulai membuat janji brengsek: ingin bertarung omong melawan Halim. Di diskusi-diskusi kecil di TBJT (Solo), aku mulai berani turut omong: degdegan dan gemetaran. Situasi itu lekas teratasi jika ingatan-ingatanku beres dalam mengajukan penjelasan, argumentasi, dan referensi. Aku mulai memamerkan bacaan-bacaan agar bertaut ke daftar pustaka milik Halim. Masa lalu itu menegangkan, memberiku gairah keranjingan membaca buku-buku berbahasa Indonesia dan Jawa. Buku berbahasa Inggris masih teranggap “haram”. Aku mengaku sering kalah dari ledekan dan kuliah Halim. Kalah gara-gara aku mustahil membaca buku berbahasa Inggris? Duh, kalah bacaan…

Di diskusi-diskusi sastra, ia mudah saja mengoceh nama-nama pengarang dan sekian buku sastra, dari masa ke masa. Wah, aku mendapat catatan-catatan panjang lekas sinau sastra di Indonesia! Pada masa 1990-an itu aku belum memiliki sangkaan bahwa Halim adalah penggubah puisi. Di mata dan telinga, aku mengakui Halim kadang “kritikus sastra”. Pengakuan tersamar berbarengan aku sering menikmati dan mengliping tulisan-tulisan Halim di Tempo dan Kompas. Oh, ia menulis pelbagai hal! Keinginanku jadi penulis tentu dipengaruhi “kesombongan” si wajah serius sering membikin onar di kepalaku. Ia itu “penuntun” di janjiku selalu membaca dan menulis.

Pada masa sregep belanja majalah Horison lawas, aku mulai kaget. Halim itu penggubah puisi. Aku temukan di Horison (1975) sebiji puisi alit. Puisi ditulis di Jogjakarta, Mei 1973. Masa 1970-an, Halim kuliah di filsafat UGM. Konon, ia tak lulus. Halim memiliki masa lalu meriah seni dan intelektual selama di Jogjakarta, sebelum mengembara ke pelbagai kota. Sejak mahasiswa, ia sudah pintar. Ia keranjingan membaca buku. Nostalgia masa bocah memiliki daftar bacaan panjang. Ia berasal dari Jawa Barat. Di Jogjakarta dan Solo, ia malah keranjingan tema-tema Jawa. Ia bergaul dengan para ahli dan sarjana menekuni tema-tema Jawa. Pergaulan sampai ke Amerika Serikat.

Aku membaca puisi berlumuran dampak mempelajari filsafat. Puisi berjudul “Dalam Ada, Ada Dalam”. Puisi itu dipilih redaksi mungkin bermaksud mengajak pembaca ke panorama filsafat, jeda dari kecenderungan lirik dan puisi-puisi sufistik sering bermunculan di majalah-majalah. Puisi dari buku sejarah filsafat atau puisi setelah lepas dari tumpukan buku? Aku menduga Halim membuat ringkasan puitik dari puluhan buku filsafat. Ringkasan tak dijadikan tugas kuliah. Ringkasan diberikan ke umat sastra.

Halim menulis: Dalam Adam ada sepi/ Dalam sepi ada Hawa/ Dalam Hawa ada bayi/ Dalam bayi ada dosa/ Dalam dosa ada maut: mati!/ Dalam mati ada Ilahi. Aku menginginkan suatu hari puisi itu dibacakan oleh Halim. Kini, ia semakin tua tapi mutu suara tetap apik dan merdu. Bacalah dan rekamlah untuk disiarkan dan diedarkan di media sosial! Suara Halim memastikan puisi itu mengandung ajaran-ajaran bijak dan menjadikanku merenung sepanjang hari. Ia membaca puisi sambil merokok dan membenarkan letak kacamata. Ah, adegan mirip di pentas teater! Bagiku, Halim pun aktor tangguh.

Puisi memuat proses, urutan, kesinambungan. Dulu, aku tergoda membaca buku-buku filsafat tapi sulit sampai ke ringkasan buatan Halim. Filsafat itu memiliki awalan di kejadian manusia. Apa Halim saat masih muda rajin membaca kitab suci dan buku-buku anggaplah bertema agama? Puisi itu “dalam”. Puisi sering menulis “dalam” menjadi bermakna mendalam. Puisi dari orang mendalami filsafat dan agama. Puisi digubah dari kedalaman renungan dan kemahiran memilih diksi.

Aku pernah beruntung melihat Halim dan Afrizal Malna sering runtang-runtung selama di Solo. Dua manusia ajaib. Afrizal Malna dalam buku berjudul Pada Setiap Batas Masakini (2017) mengisahkan Halim. Afrizal Malna mengutip penjelasan Subagio Sastrowardojo, mengawali ingatan pada puisi dan Halim: “…. Terutama setelah saya bertanya kepada Halim HD, kenapa sekarang dia tidak menulis puisi lagi? Halim menjawab: puisi tidak mampu lagi menopang perkembangan intelektualnya. Puisi menjadi genre yang terlalu sempit untuk perkembangan intelektual seseorang seperti Halim yang sebelumnya pernah menulis puisi.” Oh, Halim pernah menulis “dalam” tapi lekas insaf bahwa puisi itu “sempit”. Ia tentu tak bercerai dari puisi. Halim tetap saja pintar memberi tafsir pada puisi-puisi terus bermunculan di Indonesia. Ia memiliki pergaulan erat dengan kaum penggubah puisi seantero Indonesia.

Aku jadi ingat Karl Marx. Di buku-buku biografi dan filsafat seni mengacu ke pemikiran Karl Marx, aku menemukan babak Marx getol menulis puisi. Sekian puisi dalam edisi terjemahan bahasa Indonesia aku baca sambil mengangguk dan geleng-geleng kepala. Kebiasaan menggubah puisi dihentikan dengan argumentasi keras dan “mutlak”. Ia pensiun menulis puisi, menempuhi jalan filsafat untuk menghasilkan tulisan-tulisan mengenai hal-hal bakal turut mengubah arah sejarah dunia. Ia bukan lagi pesajak. Apa Halim meneladani (biografi) Marx untuk emoh lagi menggubah puisi?

Aku saja meneladani Halim. Biografiku memiliki halaman-halaman bagi peran Halim. Peran mungkin tak pernah ia kehendaki atau sengaja bertaut ke diriku. Ia itu penuntun. Aku bernafsu membaca dan menulis memiliki acuan ke Halim dan sekian orang. Halim malah sering ngece saat tulisan-tulisanku mulai mejeng di Kompas, Jawa Pos, Suara Merdeka, Koran Tempo, Solopos, Republika, Media Indonesia, Pikiran Rakyat, Basis, Horison, Kedaulatan Rakyat, dan lain-lain. Aku memang pantas diece tapi jangan dengan puisi. Begitu.

Dulu, Berumpama Asmara

22 Maret 2019, Bandung Mawardi

 

Aku sering ke Jakarta tapi masah saja takut. Aku melihat kota itu marah dan mbesengut. Kota jarang memberiku perasaan-perasaan tenang dan tenteram. Kota itu agak enteng asal aku mengingat Kurnia Effendi. Di pelbagai acara, pertemuanku dengan Kurnia Effendi alias Kef cenderung menenteramkan. Ia gampang mesem dan luwes di percakapan. Tawa tentu milik Kef. Jakarta jadi tak terlalu ganas atau panas. Di Jakarta, Kef kadang turut mengurusiku dengan perkataan-perkataan santun meski jarang puitis.

Pertemuan awal di Solo. Sanie B Kuncoro jadi perantara perkenalan ke Kef. Dua orang itu sekongkol di urusan cerita dan novel asmara, sejak tenar menjadi penulis di majalah Anita Cemerlang, Gadis, Femina. Aku agak kaget melihat perawakan Kef itu besar. Jangan dibilang gemuk. Ia memang sregep makan tapi tak sopan menganggap gemuk atau gendut. Pertemuan-pertemuan lain sering terjadi di Jakarta. Di mataku, Kef itu pengarang ramah. Mengapa ia tak memilih sombong atau berlagak dituakan? Ah, aku beruntung mengenali pengarang memilih ramah dan santun.

Sekian buku Kef aku baca di edisi awal: Kincir Api dan Anak Arloji. Pada suatu masa, aku mendapat buku hitam tapi religius. Buku berisi puisi-puisi mengenai diri di bulan suci. Buku memastikan predikat penulis puisi, tak selalu di jalan prosa. Di puisi, aku menduga ia rajin dan tenang. Gejolak di puisi agak terbedakan di prosa. Ingatanku malah sering ke prosa ketimbang puisi, sebelum bertemu puisi-puisi di lembaran koran dan majalah.

Aku sudah lama tak bertemu dan bercakap dengan Kef. Konon, ia menjalani hari-hari dengan pengembaraan dan keranjingan menulis. Aku tetap saja ingat wajah sering mesem, jarang banget masam. Eh, aku mendengar kabar ia sedang menggarap buku mengenai Raden Saleh. Misi serius dibuktikan kepergian ke Belanda. Ia pergi demi puisi. Pulang ke Indonesia memberi buku puisi. Buku dijuduli Mencari Raden Saleh (2019).

Pada 6 Maret 2019, aku sudah memiliki dini hari. Aku melanjutkan membaca novel Terhempas dalam Kebimbangan: Permainan Bulan Desember (1988) gubahan Mira W. Novel sengaja dikhatamkan untuk mengerti jerat asmara berkaitan calon biarawati. Novel ingin jadi sangu untuk menonton film berjudul Ave Maryam. Halaman demi halaman sambil menunggu siaran pertandingan sepakbola: Real Madrid-Ajax Amsterdam. Novel ditutup tapi belum rampung. Di televisi, orang-orang mewek. Gol demi gol diberikan Ajax Amsterdam. Nah, Real Madrid cuma memberi sebiji gol. Real Madrid kalah! Ribuan orang di stadion itu tampak mewek dan murung. Duh, kasihan. Ajax Amsterdam asal Belanda berlaku sadis dan keji. Lho! Kemenangan itu membuat Real Madrid pamit dari Liga Champion. Orang-orang patah hati dan benci pada Ajax Amsterdam.

Aku tak terlalu mengerti sepak bola. Detik-detik sebelum subuh, aku mengingat Belanda. Aku teringat Kef. Apa selama di Belanda, Kef menonton Ajax Amsterdam? Kef membuat puisi mengenai sepakbola? Jalan-jalan dan studi di Belanda mungkin melupakan sejenak sepakbola. Urusan menambahi mengerti tentang Raden Saleh tak usah direpotkan balbalan. Di negara pernah ditinggali Raden Saleh, ada Ajax Amsterdam membuat jutaan orang di dunia gembeng. Raden Saleh tentu bukan pencetak gol. Ia itu pelukis, bukan berperan seperti Bale, Benzema, atau Ramos.

Pada sore setelah gerimis, aku dolan ke Toga Mas, berharap melihat buku puisi milik Kurnia Effendi. Bertemulah! Buku berjudul Mencari Raden Saleh dihargai 58 ribu rupiah. Ada potongan harga 20 %. Buku dengan gambar wajah bukan milik Kef. Aku tak protes. Foto Kef saat dolan ke Belanda ada di dalam buku, halaman akhir. Buku mentereng mirip si penggubah puisi suka berpenampilan necis.

Di puisi berjudul “Pakhuis”, Kef berbagi peristiwa: Di depanku: Joss dan Frieda berbaku cakap/ perihal pahlawan – dengan tafsir beragam/ Aku tetap bersiteguh mencari Raden Saleh/ dengan cara yang kutempuh. Pastilah Joss di puisi itu memiliki nama panjang Joss Wibisono. Lelaki asal Salatiga lama mukim-bekerja di Belanda. Aku masih ingat wajah Joss saat ngoceh atau tertawa. Seingatku, tiga kali Joss Wibisono dolan ke rumahku untuk khotbah musik, sejarah, bahasa, dan sastra. Aku bertambah beruntung mengenali dua orang senang mesem: Kef dan Joss. Tiga buku Joss, aku sudah khatam dan membuatkan resensi. Kini, aku berjanji ingin meresensi buku Kef. Janji untuk mengenang kemenangan Ajax Amsterdam atas real Madrid. Ha!

Kapan mau merensi? Ah, nantilah! Aku ingin bernostalgia dulu dengan puisi-puisi lawas digubah Kurnia Effendi. “Begitulah Kurnia Effendi berumpama kata dan melahirkan suasana,” pujian Arswendo Atmowiloto selaku pengasuh rubrik “Parade Puisi” di majalah Hai, 28 Maret-3 April 1989. Apakah itu Kurnia Effendi alias Kef? Barangkali lelaki berbeda? Ingatan Iksaka Banu dan data diri Kef di Mencari Raden Saleh tak pernah mencantumkan Hai. Mereka cuma mengingat Aktuil, Gadis, Anita Cemerlang, dan Femina. Di situ, tiada Hai. mereka lupa atau memang tak perlu mencantumkan Hai? Ah, aku anggap 6 puisi di majalah Hai adalah gubahan Kurnia Effendi-Kef.

Puisi berjudul “Patah Hati” digubah di Bandung, Januari 1989. Puisi digubah saat Kef kuliah di ITB? Ia kelahiran Tegal, 20 Oktober 1960. Pada umur 29 tahun, ia masih berpredikat mahasiswa dan memberi puisi bagi kaum remaja? Puisi milik para peratap asmara. Aku agak merinding membaca puisi: Aku tidak melihat apa-apa kecuali langit/ yang seolah kaca. Dan kini pecah/ Suaranya jauh, mungkin gemuruh/ Aku hampir tak mengenali apa-apa, kecuali/ teringat semua yang kini serpih: dulu pernah utuh. Dulu, Kef mustahil cuma mencatat sekali pacaran seumur hidup. Ia itu ganteng. Para perempuan mungkin kagum pada Kef setelah membaca cerita dan puisi. Di mata mereka, Kef itu lelaki idaman. Eh, ia malah menulis patah hati. Puisi bikin merinding melampaui kesenanganku mendengar lagu-lagu cengeng, dari Ratih Purwasih sampai Astrid. Aku hapal lagu-lagu mereka tapi agak malu menghapalkan patah hati di puisi gubahan Kef. Aku sudah menua, tak memiliki masa remaja bertaburan cerita asmara.

Puluhan tahun lalu, Kef seperti “remaja”. Kini, ia sudah tua tapi tak kehabisan imajinasi asmara. Puisi berjudul “Patah Hati” mungkin terbaca oleh para remaja masa 1980-an untuk kesembuhan setelah melintasi Februari memiliki hari perasaan sedunia. Puisi Kef tampil di Hai edisi Maret-April 1989. Obat telah datang. Di puisi, aku agak menemukan kecenderungan umpama klise. Puisi untuk remaja tapi digubah oleh orang sudah hampir 30 tahun: berbeda kata dan rasa. Di ujung, Kef menulis: Aku tidak melihat apa-apa, kecuali luka/ yang berkilau. Ingin kugambar mata-angin baru/ Agar tak lagi ada utara, timur, selatan dan barat/ yang senantiasa memabukkan masa lalu. Duh, aku tersipu malu. Begitu.

 

Lirik Masa Lalu

21 Maret 2019, Bandung Mawardi

 

Perjumpaan awal dengan buku-buku terbitan Bentang dan Balai Pustaka. Aku membaca puisi dan cerita gubahan Dorothea Rosa Herliany. Nama lekas termiliki untuk memberi pujian ke sastra-tubuh. Dulu, aku mulai mencari kutipan di puisi-puisi gubahan Rosa berkaitan tubuh. Waktu dan doa juga tema aku temukan di puluhan puisi. Pada saat masih kuliah, aku memilih membaca puisi-puisi Rosa ketimbang novel-novel persembahan pengarang-pengarang tenar pernah dijuluki “sastrawangi”. Pada puisi-puisi, ada getaran, ledakan, tendangan, dan teriakan. Aku selalu teringat Rosa.

Ingatanku pada Rosa untuk puisi, bukan lagu. Sejak lama, aku memang pendengar lagu-lagu asmara dari Rossa. Lagu-lagu ingin membuat diri cengeng, sendu, dan romantis. Di kampus dikepung sawah di dekat Solo, aku pernah mengajak orang-orang bergabung denganku membentuk Masyarakat Rossa. Penamaan jelek. Aku sengaja mencomot dari puisi gubahan Afrizal Malna dan kagum tak habis-habis pada perempuan bersuara merdu: Rossa. Di Masyarakat Rossa, aku dan teman-teman mengobrolkan sastra, filsafat, sejarah, politik diselingi ratapan-ratapan asmara. Selama berlangsung obrolan, kaset berisi lagu-lagu Rossa terus berputar di tape-recorder milik Salman. Para lelaki berlagak intelektuil tapi pemuja Rossa. Di obrolan-obrolan berasap, aku dan teman-teman pun mengajukan Rosa, perempuan bukan artis. Ia penulis puisi asal Magelang, lama bermukim di Jogjakarta. Masa laluku dengan Rossa dan Rosa.

Aku kaget membaca puisi-puisi “berbahasa lelaki”, jauh dari lembut dan keperempuanan. Puisi-puisi gubahan Rosa aku gunakan di penulisan esai-esai dan ocehan. Tahun demi tahun berlalu, aku bertemu Rosa. Pertemuan di acara-acara sastra di pelbagai kota. Aku paling ingat pertemuan di Magelang dalam acara sastra dinamai pakai Borobudur. Di situ, aku berkunjung ke rumah mengesahkan kerja Indonesia Tera. Aku membeli sekian buku dan membawa pulang ingatan percakapan-percakapan pendek.

Rosa itu puisi. Aku masih sulit mengagumi Rosa di prosa. Kagumku pada puisi menggetarkan saat membeli buku lawas berisi puisi-puisi gubahan Joko Pinurbo, Rosa, dan para pesajak asal IKIP Sanata Dharma, Jogjakarta. Mereka bersekutu sebagai penulis puisi belum tenar. Buku berwarna putih dan sederhana. Buku itu permulaan Joko Pinurbo dan Rosa menjadi tokoh sastra. Aku pun menemukan mereka berdua di majalah di halaman pemuatan puisi pemenang harapan di peringatan Hari Ibu. Dua orang tenar sempat keranjingan mengikuti lomba. Mereka di daftar harapan.

Pada suatu hari, aku pernah dolan ke Indonesia Tera di Jogjakarta. Di atas meja, aku membaca tumpukan kliping memuat tulisan-tulisan Rosa, dari masa ke masa. Kliping itu teringat dan tercatat memberi ajakan agar aku mengliping. Keinginan mengliping menunggu tulisan-tulisanku dimuat di koran atau majalah. Eh, angka-angka tahun terus berubah, sebiji tulisan pun belum pernah mejeng. Sepuluh tahun lalu, aku mulai mengliping serampangan membawa kecewa: terlambat dan keparat.

Pada 2019, aku memilih Rosa masuk daftar kliping. Aku mengambil dari majalah Hai edisi 1-7 Agustus 1989. Rosa sudah beredar di orbit sastra Indonesia. Di situ, ia suguhkan 4 puisi. Semua dijuduli “lirik” dibedakan dengan penomoran, 1-4. Puisi-puisi beralamat di Jogjakarta. Lembaran puisi itu pasti sudah dikliping rapi oleh Rosa.

Di puisi berjudul “Lirik (1)”, Rosa belum galak atau keras seperti bacaanku saat kuliah. Aku menduga “lirik” itu pemendekan dari “melirik”. Nah, Rosa tak menulis “lorok”, pemendekan dari “melorok-mlorok”. Di Jawa, orang “mlorok” itu marah, mangkel, dan uring-uringan. Eh, lirik di puisi Rosa mengacu ke istilah-istilah kesusastraan dunia. Bacalah buku-buku A Teeuw, Slamet Muljana, HB Jassin, Subagio Sastrowardoyo, dan Sapardi Djoko Damono! Rosa menulis: merebah seperti daunan, usia yang keburu tua./ tiba-tiba segalanya berubah jadi kenangan. Kritikus sastra berhak mengatakan bait itu membenarkan kecenderungan ke lirik di perpuisian mutakhir di Indonesia. Lirik memang berkuasa di sastra Indonesia, dari masa ke masa.

Puisi tampak serius di perhitungan suasana. Perasaanku berterima dengan bait-bait buatan Rosa. Pada bait meminta mata: semua menjelma gambar-gambar dalam kanvas tua./ cat-cat mulai mengelupas, gambar-gambar yang/ tergantung pada dinding (hampir terlepas)/ dan kaubiarkan aku hanya menontonnya. Ah, bait khas milik para pesajak masa 1970-an dan 1980-an. Rosa masih terpengaruh, belum berpengaruh? Ia mewarisi atau terpengaruhi estetika para pendahulu. Bait itu menurunkan pikat di bait pertama. Aku usul biarkan puisi cuma sebait saja, tak perlu ada bait kedua dan ketiga.

Di bait ketiga, pembaca ikhlas terlempar ke masa lalu berestetika klise. Di puisi, orang masih saja menulis benda-benda mendekati bangkrut makna. Rosa menulis: segala surat tak sampai. merpati kembali ke/ sangkar. segala salam menjamur dalam batin/ yang buram. buku-buku harianpun terpenggal/ : dan namamu yang bersayap, beterbangan. Duh, surat pun milik Dewa 19 mengartikan kangen. Buku harian itu ada pula di lagu Krisdayanti. Lagu itu pernah mengisi hari-hari kecengengaku. Cengeng bersama lagu, belum ingin bersama puisi. Rosa mengusung dan menaruh sekian diksi itu di puisi sudah melalui “rapat-rapat” berkepanjangan? Rosa tak mungkin asal menulis menuruti perasaan seperti petunjuk di buku-buku bagi orang-orang terlalu ingin jadi pujangga.

Bait itu masih saja mengundang ke biografi manusia-manusia mengalami masa 1980-an. Aku masih menulis surat. Buku harian aku tak memiliki: malu. Aku menjadi tukang menulis surat pada sekian lelaki di sekolah dengan imbalan jajan dan rokok. Surat-surat puitis menginginkan hati perempuan-perempuan luluh atau klepek-klepek. Sekian surat manjur. Cowok dan cewek berpacaran setelah surat-surat pesanan. Aku pantang iri pada mereka.

Puisi gubahan Rosa terbaca pada masa 1980-an tanpa sanggahan-sanggahan. Puisi itu representatif alias tanda-tanda zaman. Pemuatan di majalah Hai kesengajaan merangsang para remaja mau tenggelam di puisi atau mengarungi puisi. Pengaruh lagu-lagu cenderung menguat setiap hari ketimbang puisi. Kini, aku insaf puisi persembahan Rosa itu milik masa lalu, sulit mendekam di diriku. Begitu.